Pages

Saturday, May 21, 2011

Old Town Moment

Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta



"Carpe Diem" ~~~ "Seize The Day!"
Night in the Old Town 






"Every endless night has a dawning day. Every darkest sky has a shining ray."








"Always, always you recede through the evenings toward the twilight erasing statues." - Pablo Neruda








"The moon turns its clockwork dream. The biggest stars look at me with your eyes." - Pablo Neruda








"You used to captivate me, by your resonating light..." - Amy Lee (in "My Immortal")








"Now everything goes up and down, And the world keeps spinning round and round, and still you're waiting there..."








"I'll try to make it another night, and dream of you when I close my eyes, 'Cause I'll be back someday..."

Peasant Village di Desa Margacinta, Kecamatan Leuwigoong, Kabupaten Garut


Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman penulis berkunjung ke Kampung Pangkalan di Desa Margacinta, Kecamatan Leuwigoong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, pada tanggal 14 sampai 19 Januari tahun 2010.

“Kita menjadi semakin dekat dengan alam…” – Clifford Geertz


Desa Margacinta merupakan sebuah desa petani di kecamatan Leuwigoong di kabupaten Garut, Jawa Barat. Desa Margacinta sebagai peasant village merupakan sebuah peasant community atau “komuniti petani” yang memiliki kebudayaan folk (folk culture) yang “terhajar” pop culture akibat masuknya modernisasi dan globalisasi di desa-desa. Definisi peasant community menurut Robert Redfield adalah masyarakat kecil yang tidak terisolasi, dan tidak memenuhi semua kebutuhan hidup penduduknya, tetapi yang di satu pihak mempunyai hubungan horizontal dengan komuniti-komuniti petani lain di sekitarnya, tetapi di pihak lain juga secara vertikal dengan komuniti-komuniti di daerah perkotaan (Redfield, 1960: 17). Peasant community merupakan salah satu tipe little community (komuniti kecil). Menurut anggapan Robert Redfield, komuniti kecil adalah bagian yang terintegrai dari lingkungn alam di mana komuniti kecil itu berada, sehingga komuniti kecil merupakan suatu sistem ekologi (Redfield, 1955: 17-32) dengan masyarakat dan kebudayaan penduduk serta lingkungan alam setempat sebagai dua unsur pokok dalam suatu lingkaran pengaruh timbal-balik yang mantap. Karena kondisi alam di Garut merupakan daerah di kaki perbukitan, maka banyak lahan pertanian di kaki bukit dan lahan perkebunan di atas bukit. Oleh karena itulah penduduk desa di Garut kebanyakan bekerja sebagai petani sawah dan kebun.




Orang Garut yang beretnis Sunda kebanyakan berbicara dalam bahasa Sunda yang halus yang disebut dengan bahasa Sunda “lemes”. Ada tiga tingkatan bahaa yang dikenal secara umum dalam bahasa Sunda yaitu: lemes, sedeng, dan kasar (Glicken 1987 : 247; Wessing 1974). Maka misalnya saat seseorng akan bertanya “Anda ingin makan?” kepada majikannya, ia akan menggunakan bahasa “lemes” seperti “Juragan bade tuang?”, bukannya menggunakan bahasa “kasar” seperti “Maneh arek madang?”. Sebaliknya, sang majikan akan menggunakan bahasa “kasar” kepada bawahannya. Lalu di antara orang sederajat dan seumur maka akan saling menggunakan bahasa “sedeng” atau undak-usuk basa tersebut tidak diperhatikan. Namun seseorang harus menggunakan bahasa “lemes” ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau orang yang lebih dihormati. Karena kebanyakan orang Garut menggunakan bahasa Sunda “lemes” dalam percakapan sehari-hari, maka orang Garut dianggap sebagai orang Sunda halus.

Ada interaksi yang berkesinambungan antara desa petani dengan kota kecil dan kota besar melalui perkembangan teknologi dan komunikasi, serta melalui jalur tenaga kerja dan jalur perdagangan hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan. Akibat masuknya teknologi modern ke kota kecil seperti Garut, maka teknologi tersebut juga memasuki wilayah pedesaan. Dengan masuknya pemancar gelombang telepon seluler ke desa-desa, maka rata-rata penduduk desa Margacinta memiliki telepon seluler (handphone) sebagai alat komunikasi antar warga, walaupun tidak setiap rumah memiliki telepon rumah. Oleh sebab itu, kebanyakan warga desa memiliki telepon seluler dengan jaringan CDMA sebagai pengganti telepon rumah, karena tarif telepon dengan jaringan CDMA jauh lebih murah daripada dengan menggunakan jaringan GSM. Baik orang dewasa maupun remaja di desa memiliki telepon seluler sebagai alat komunikasi. Namun tidak semua jenis provider GSM dan CDMA memiliki sinya kuat di desa tersebut, masing-masing hanya ada satu jenis merk provider GSM dan CDMA yang memiliki sinyal kuat di wilayah kampung Pangkalan di desa Margacinta, sisanya hanya bisa mendapat sinyal kuat jika berada di atas bukit atau di jalan desa yang berada di dataran tinggi. Namun untuk jaringan internet belum banyak digunakan di desa-desa karena tidak semua warga desa bisa menggunakan fasilitas internet, sehingga jaringan internet baru mulai banyak digunakan di kota-kota kecil. Kemudian ada aliran tenaga kerja dari para pria desa yang berumur sekitar 20 tahun sampai 30 tahun yang pergi bekerja ke kota sebagai buruh, kuli, pegawai konstruksi, dan pedagang. Para pria desa yang masih berumur sekitar 20 tahun sampai 30 tahun biasanya merantau bekerja ke kota agar bisa mendapatkan nafkah yang lebih baik daripada di desa. Karena kebanyakan pria dewasa tersebut tidak memiliki lahan pertanian atau perkebunan untuk digarap, maka mereka memilih untuk bekerja di kota sementara istri dan keluarganya tetap tinggal di desa. Biasanya para pria dewasa tersebut tinggal di kota dan baru pulang ke desa selama ebulan sekali untuk memberikan nafkah hasil pekerjaannya di kota kepada keluarganya atau kepada anak dan istrinya di desa. Kemudian ada jalur perdagangan hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan dari desa yang dijual ke kota. Komoditi perdagangan yang dijual dari desa Margacinta ke kota kecil seperti Garut dan kota besar seperti Bandung dan Jakarta contohnya adalah hasil pertanian seperti beras, hasil perkebunan seperti tomat, cabai, jagung, tembakau, dan buah-buahan, dan hasil peternakan seperti kulit domba yang dijadikan bahan tekstil khas kota Garut. Selain dijual ke kota, hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan tersebut juga dijual di pasar-pasar di desa untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat desa itu sendiri.

Ada pembagian kerja yang berbeda di antara penduduk desa yang dibagi berdasakan umur dan jenis kelamin. Berikut ini adalah tabel pembagian kerja berdasarkan umur dan jenis kelamin di kampung Pangkalan di desa Margacinta di Garut:


Penduduk desa Margacinta masih merupakan kerabat satu sama lain. Hal tersebut yang membuat solidaritas dan rasa keterikatan menjadi sangat kuat di antara penduduk desa. Hal ini terjadi karena banyaknya pernikahan dengan kerabat terdekat, tidak jarang sepasang suami istri di desa Margacinta masih merupakan sepupu. Larangan incest hanya berlaku di antara saudara kandung sedarah, saudara sepersusuan ibu, dan antara anak dengan orangtua kandung atau cucu dengan kakek dan neneknya. Tak jarang remaja perempuan di desa Margacinta yang masih berusia 15 tahun sudah menikah, lalu karena kebanyakan pasangan suami istri di desa Margacinta menikah di usia muda maka pasangan yang baru menikah tersebut tinggal tidak jauh dari rumah orang tuanya. Perkembangan dari keluarga batih sampai ke keluarga luas menyebar ke seluruh wilayah desa sehingga penduduk desa tersebut masih merupakan keluarga. Maka setiap warga desa Margacinta masih saling mengenal satu sama lain sebagai individu yang berkepribadian. Jaringan kekerabatan merupakan alat untuk memperkokoh solidaritas sosial antarkesatuan sosial. Selain jaringan kekerabatan, kegiatan keagamaan juga merupakan alat untuk memperkokoh tali silaturahmi dan solidaritas masyarakat desa Margacinta. Misalnya dengan kegiatan sholat berjamaah dan pengajian bersama di masjid-masjid desa.

Desa Margacinta sebagai sebuah little community memiliki kebudayaan yang oleh Robert Redfield disebut dengan little tradition. Tradisi-tradisi penduduk desa Margacinta tersebut antara lain;


Tradisi Keagamaan :
- Pengajian orangtua setiap hari Senin biasanya diadakan di siang hari seusai sholat Zuhur di masjid dan pengajian remaja setiap sebulan sekali biasanya diadakan di sore hari setelah sholat Ashar di masjid
- Slametan yang diadakan biasanya seminggu sebelum acara pernikahan
- Aqiqah bagi anak yang baru lahir. Biasanya saat aqiqah rambut anak yang baru lahir tersebut dicukur dan ditimbang beratnya, berat timbangan rambut tersebut kemudian dijadikan patokan berat emas (misalnya 5 gram). Kemudian dihitung berapa harga berat emas yang sesuai dengan berat potongan rambut anak tersebut. Harga yang dihitung dari harga berat emas tersebut merupakan jumlah uang yang harus disedekahkan kepada anak-anak yatim piatu.
- Khitanan / sunatan bagi anak laki-laki yang telah baligh (telah mencapai akil balig)
- Ziarah kubur, bersih desa, dan pengajian bersama sekitar seminggu sebelum bulan Ramadhan (puasa)
- Halal Bihalal warga sekampung saat lebaran Idul Fitri dan Idul Adha. Biasanya para warga desa yang merantau ke kota akan kembali pulang ke kampung saat Halal Bihalal ini.


Tradisi Kesenian :
- Panggung kesenian setiap tanggal 17 Agustus di lapangan bulutangkis di kampung Pangkalan. Biasanya di acara panggung kesenian tersebut ada tari-tarian, orkes, dangdut, dan sandiwara)
- Para remaja kampung berkumpul bernyanyi dan bermain gitar setiap malam, terutama Sabtu malam


Tradisi Olahraga :
- Lomba-lomba setiap tanggal 17 Agustus
- Lomba adu domba. Biasanya warga desa yang memiliki domba akan mengadu dombanya di arena adu domba di kecamatan Leuwigoong
- Lomba adu kicauan burung. Para warga desa yang memiliki burung peliharaan yang mahir berkicau akan mengikuti lomba adu kicauan burung
- Bermain voli dan bulutangkis di lapangan voli dan bulutangkis di kampung setiap hari sebagai hiburan anak-anak dan remaja sehari-hari.



Desa Margacinta merupakan salah satu dari sekian banyak contoh peasant village di Indonesia yang masih memiliki tradisi local yang kuat namun juga dapat menerima pengaruh modernisasi dan globalisasi dengan mudah. Sehingga seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat desa kini menjadi suatu masyarakat hybrid yang memadukan local knowledge dengan pengaruh globalisasi yang masuk.




REFERENSI:

Koentjaraningrat
1990 Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press

Melalatoa, Dr. M. Junus
1997 Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: PT. Pamator

Redfield, Robert
1960 The Little Community and Peasant Society and Culture. Chicago: University of Chicago Press

Saifuddin, Ahmad Fedyani
2005 Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana